shutbox


G
u
e
s
t


B
o
o
k
Mw Guest Book yg Seperti ini..??
Klik di Membuat Show Hide floating Guest Book

Rabu, 26 Januari 2011

Keseimbangan IQ.EQ,dan SQ


Keseimbangan IQ,EQ, dan SQ
Oleh;Aira az zuhri


Didalam bidang pendidikan,Pemerintah masih berusaha untuk mendapatkan formula yang terbaik dalam mendidik pelajar-pelajar disekolah.Pendidikan telah begitu merosot hingga pelajar terlibat dalam gangsterisme, vandalisme, budaya rock, budaya metal, skinhead, narkoba, melawan guru, bahkan paling sering terjadi perkelahian antar pelajar.

Ada pihak yang menyarankan pendidikan diarahkan kepada system pertumbuhan IQ (intelligence quotient) semata-mata. Dalam system yang ada sekarang, kecerdasan atau IQ saja yang menjadi indeks pengukur untuk menilai kecerdasan seseorang pelajar. Namun ada pihak lain yang menentang,IQ hanya salah satu ukuran untuk menunjukkan kemampuan mental dalam mempelajari ilmu dan menyelesaikan masalah teoritikal. Ia tidak menunjukkan kepada kualitas pelajar secara menyeluruh yang sepatutnya merangkum lebih banyak ciri, bidang dan kriterianya.

Kalau diteliti kita akan mendapati bahwa, akhlak, pribadi, jati diri dan perilaku pelajar semakin buruk dan merosot. Pasti ada sesuatu yang tidak kena. Juga membuktikan bahwa system bidang pengajaran pendidikan para pelajar ada yang kurang dan tidak menyeluruh. Pribadi pelajar yang terbina berat sebelah dan tidak seimbang. Ada usulan untuk penambahan kecerdasan lain yang mesti diambil yaitu EQ (emotional quotient).

Harusnya penerapan pembelajaran IQ perlu di imbangi dengan EQ, kecerdasan minda perlu di imbangi dengan kecerdasan emosi. Kalau tidak emosi para pelajar akan mudah terganggu dan pelajar akan bertindak mengikut emosi dan dorongan perasaan. Dalam hal ini kecerdasan minda tidak akan berfungsi dengan baik.
Apabila pelajar mempunyai EQ yang rendah atau kecerdasan emosinya kurang, maka emosinya menjadi tidak stabil. Mereka akan bertindak mengikut emosi dan mudah terjebak dengan vandalisme, gangsterisme, keganasan atau mencederakan orang lain.

Tuhan menjadikan manusia mempunyai sifat batin yang berbeda-beda antara satu sama lain. Ada tiga jenis sifat atau kekuatan batin yang menonjol yang merupakan sifat manusia yang berbeda-beda itu. Diantaranya ialah:

1- Kekuatan akal
2- Kekuatan perasaan
3- Kekuatan jiwa

Dalam istilah modennya, dinamakan IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Namun tidak semua orang ataupun para pendidik yang benar-benar faham tentang ketiga-tiga kekuatan ini dan bagaimana untuk mengendalikannya.

Setiap orang mempunyai salah satu dari kekuatan diatas. Jarang ada manusia yang memiliki kekuatan tersebut sekali gus kecuali para Nabi dan para Rasul. Orang yang mempunyai kekuatan akal selalunya kurang mempunyai kekuatan jiwa dan kekuatan perasaan. Seterusnya, sesiapa yang mempuyai kekuatan jiwa, maka dia kurang mempunyai kekuatan akal dan kekuatan perasaan. Kalau seseorang itu mempunyai kekuatan perasaan pula maka kekuatan jiwanya dan kekuatan akalnya pula kurang.

Sifat, watak dan bakat seseorang itu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Inilah sebab utama dan terbesar mengapa berlaku perbedaan sifat, watak dan bakat antara seseorang dengan orang lain.

Inilah diantara hikmah dan rahmat Tuhan dalam penciptaan manusia. Sifat, bakat, minat dan kecenderungan manusia itu tidak sama dan berbeda-beda mengikut sifat dan kekuatan batinnya. Ini sesuai denga keperluan masyarakat itu sendiri yang tidak sama dan berbeda-beda. Yang kuat jiwa suka dan berbakat menjadi polisi, tentera, bertani, penternak dan nelayan. Yang kuat akal berbakat menjadi guru, saint, doktor, teknokrat. Yang kuat perasaan berbakat menjadi ahli seni, pekerja media, sasterawan dan sebagainya.

Memang benar bahawa system pendidikan sekarang amat lemah dan mementingkan kekuatan akal atau IQ semata-mata. Tidak ada tempat dan ruang untuk pelajar yang kuat jiwa dan kuat perasaan atau dalam istilah lain yang kuat SQ dan EQnya. Oleh itu mereka ini terpinggir dalam system yang hanya mementingkan IQ semata-mata. System ini tidak relevan bagi mereka. Tidak heran kalau mereka ini rusak dan hanyut karana tidak dapat menyesuaikan diri dengan system yang ada. Mereka di asah dan diuji untuk menghasilkan kerja akal padahal kekuatan mereka bukan terletak disitu. Dalam hal-hal yang mereka minati dan mampu berdasarkan kekuatan perasaan dan jiwa mereka tidak pernah dibina. Kesannya ialah tekanan perasaan, kekecewaan, putus asa dan kekeliruan. Maka berlakulah tindak balas dendam sebagai manifestasi kepada kekecewaan, tekanan perasaan, putus asa dan kekeliruan ini. Yang kuat jiwa mengganas, memberontak dan melanggar disiplin dan peraturan. Yang kuat perasaan pula mendongkol, murung, merasa inferiority complex, putus asa dan sakit jiwa.

Didalam setiap kekuatan batin yang disebutkan diatas, ada kebaikan dan ada pula keburukannya. Yang baik akan memberi faedah. Yang buruk pula akan membawa kerugian. Sifat-sifat baik dan buruk ini adalah seperti berikut:

KEKUATAN AKAL

Orang yang kuat akal mempunyai keupayaan berfikir. Melalui pemikirannya itu, dia dapat membuat berbagai-bagai penemuan dan teori. Dia juga mudah faham dan mudah mengingati ilmu-ilmu yang dipelajarinya bahkan dia mampu mengambil ilmu yang tersirat dan yang tersembunyi. Dia juga sangat berhati-hati supaya hasil kerja akalnya tidak salah.

Kelemahannya, orang yang kuat akal selalu asyik-mahsyuk dengan kerja akalnya sehingga dia selalu terlupa dan lalai dari tanggungjawapnya terhadap Tuhan, terhadap masyarakat, keluarga bahkan pada dirinya sendiri. Jiwanya penuh dengan rasa ego maupun sombong (rasa diri hebat).

KEKUATAN PERASAAN

Orang yang kuat perasaan selalunya sangat berhati-hati dan tidak gopoh. Dia sangat bertimbang-rasa dan wataknya lemah lembut.

Namun keburukan sifat orang yang kuat perasaan ini ada banyak. Dia bakhil, mudah merajuk, mudah kecewa, suka menyendiri, rasa rendah diri dan tidak yakin pada diri sendiri. Dia juga mudah beralah, pemalu, penakut, tidak tahan diuji dan suka buruk sangka.

KEKUATAN JIWA

Orang yang kuat jiwa pula berani, yakin pada diri, pemurah, tabah, tahan diuji dan tidak putus asa.

Keburukannya pula, dia selalu gopoh, boros (membazir), zalim (suka menindas), pemarah, sombong, pendendam dan ujub.

Dalam hendak mendidik para pelajar, kekuatan batin mereka harus dikenalpasti terlebih dahulu. Setiap guru dan pendidik mesti tahu dimana letaknya kekuatan batin setiap pelajar mereka. Adakah akalnya kuat, perasaannya atau adakah jiwanya yang kuat. Kemudian mereka perlu di didik mengikut kekuatan mereka masing-masing.

Setiap pelajar mempunyai sifat –sifat batin yang baik disamping sifat-sifat batin yang buruk. Tegasnya setiap pelajar mempunyai kelebihan dan keistimewaan dan juga kekurangan dan kelemahan yang tertentu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Setiap sifat yang baik itu tidak akan sempurna selagi ianya tidak di pimpin dengan syariat Islam dan diarahkan kepada jalan Allah. Begitu juga, setiap sifat yang buruk itu boleh di didik hingga menjadi baik atau sekurang-kurangnya ia boleh dibendung agar ia tidak meliar.

Inilah yang perlu difahami oleh para guru dan pendidik dan semua yang terlibat dengan para pelajar disemua peringkat samada di peringkat sekolah, pendidikan daerah, pendidikan negeri dan kementerian sendiri. Kalau istilah pembelajaran itu berkaitan dengan ilmu, kemahiran dan akal, istilah pendidikan pula melibatkan pengurusan dan pengendalian sifat batin pelajar. Selagi perkara ini tidak difahami, tidak diambil kira dan tidak dijadikan konsep dan prinsip dalam mendidk, membimbing dan membentuk para pelajar, selagi itulah kita tidak akan dapat menghasilkan pelajar yang benar-benar cemerlang lahir dan batinnya.












Sinergi IQ-EQ Dalam Proses Belajar-Mengajar

DALAM sebuah kelas terjadilah interaksi antara guru bahasa Inggris dan para siswa. Guru tersebut melontarkan pertanyaan sederhana, “How are you?” Dengan serempak, para siswa menjawab, “I’am fine.” Ketika menyimak jawaban itu, guru itu merenung dan bertanya. Mengapa hanya satu jawabannya, padahal siswanya berjumlah 30 orang. Padahal ia mengharap agar siswa-siswanya memiliki jawaban yang variatif. Misalnya, “I’am good.”, “I’am be happy”, dan sebagainya.
Selang beberapa hari, guru itu kembali melontarkan pertanyaan kepada para siswanya, “How is life?” Kontan, siswa-siswanya bingung dan tak tahu akan menjawab apa. Melihat kondisi itulah, akhirnya guru tersebut berpikir. Mengapa para siswanya tidak bisa menjawab pertanyaan “How is life?”, padahal esensinya tidak jauh beda dengan pertanyaan sebelumnya. Guru itu pun akhirnya merenung kembali, “Jika seperti ini terus, kelak pelajaran bahasa Inggris akan membosankan dan tidak kreatif. Apa yang bisa saya lakukan saat ini?”
Sepotong kisah di atas barangkali banyak kita jumpai, khususnya di dunia pendidikan kita. Sebagai seorang sarjana pendidikan, saya ikut merasa prihatin atas situasi dalam kisah tersebut. Sejujurnya saya katakan, situasi pembelajaran, apa pun mata pelajarannya, di sekolah saat ini cenderung membosankan dan tidak kreatif. Pertanyaannya, mengapa situasi pembelajaran cenderung membosankan dan tidak kreatif? Dengan diplomatis saya menjawab, karena siswa belum merasa dihargai sebagai subjek pendidikan. Mari kita cermati.
Dalam proses pendidikan, kegiatan belajar-mengajar memiliki peran yang amat penting. Jika kegiatan itu berjalan dengan baik dan terencana, hasilnya pun akan baik. Sebaliknya, jika kegiatan itu berjalan tidak baik dan tidak terencana, hasilnya pun juga tidak baik. Kesemuanya bergantung dari guru dan para siswa di kelas. Apa pasal? Sebab, keduanya merupakan bagian yang terintegrasi dari upaya membangun proses belajar-mengajar yang interaktif. Di samping itu, keduanya pun menjadi faktor penentu berhasil-tidaknya proses pembelajaran.
Sekurangnya ada enam hal yang perlu diketahui guna mewujudkan suatu inovasi dalam proses belajar-mengajar. Di antaranya, (1) hakikat pembelajaran; (2) teknik dan metode pembelajaran; (3) prinsip pembelajaran; (4) cara-cara atau metode penerapan manajemen kelas secara efektif; (5) teori-teori belajar; dan (6) profesionalisme dalam pembelajaran (Suyanto, 2004: 1-2). Dengan mengetahui kesemuanya, diharapkan proses belajar-mengajar yang selama ini membuat siswa-siswa cenderung menjadi tidak kreatif dan bosan, kelak bisa teratasi.
Hakikat Pembelajaran. Dalam sistem pengajaran yang umum di sekolah akan berlangsung proses pembelajaran. Meskipun ada banyak definisi tentang belajar, namun yang utama dari proses belajar ialah terjadinya perubahan pada orang yang belajar. Mengutip Wolfolk dan Nicolich, “Learning always involves a change in the person who is learning.” Ditambahkan, “To qualify as learning, this change must be brought about by experience, by the interaction of a person with his or environment.” (Suyanto, 2004: 2).
Jelas, dari definisi itu bahwa pengalaman merupakan aspek penting dari belajar.
Perubahan yang terjadi pada siswa setelah mengikuti proses pembelajaran harus disebabkan oleh pengalaman (experience). Ini artinya, dalam proses belajar harus terjadi pengayaan pengalaman dalam bidang studi yang dipelajarinya dalam konteks kehidupan riil. Apalagi jika siswa nanti dituntut untuk memiliki kinerja yang prima dan oleh karena itu, ia harus mampu bertindak kreatif (creative) dan inovatif (innovative), serta mampu berkomunikasi dengan masyarakat.
Jika demikian halnya, berarti pemberian pengalaman kepada para siswa di kelas mestinya direncanakan secara sadar. Dalam hal ini, tolok ukur yang nanti digunakan ialah aspek kekinian, ketepatan, dan keefektifannya. Tanpa ada upaya yang sadar, para guru mustahil akan mampu memberi pengalaman yang berharga bagi para siswanya. Akibatnya, siswa tersebut tidak berani mengambil risiko dalam hidupnya. Seperti ditulis Rendra, “Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?”
Sebelum kita ungkap metode pembelajaran, ada baiknya kita pahami dulu bagaimana proses belajar yang baik. Menurut Gagne, proses belajar yang baik diawali dari fase motivasi (Suyanto, 2004: 4-5). Mengapa demikian? Sebab, dari motivasi-lah akan muncul harapan-harapan terhadap apa yang dipelajari. Nah, jika siswa memiliki motivasi dan harapan tinggi, kelak ada kemungkinan ia akan berhasil dalam proses belajarnya. Sebaliknya, jika siswa tidak memiliki motivasi, dipastikan ia tidak akan berhasil atau tidak bisa meraih hasil optimal.
Oleh karenanya, amatlah wajar jika tugas utama para guru di kelas ialah menghidupkan motivasi belajar pada siswa. Begitu motivasi dapat dibangkitkan, kita akan lebih mudah merencanakan tahap-tahap selanjutnya. Terlebih, motivasi terkait erat dengan harapan siswa untuk bisa meraih hasil yang optimal. Untuk itu, para guru dituntut untuk melakukan inovasi pembelajaran. Misalnya, ketika ia mengajar sangat diupayakan untuk mengembangkan metode pembelajaran yang mampu mengembangkan emosi, sosial, dan kognitif para siswa.
Namun, kecenderungan yang ada saat ini tolok ukur berhasil-tidaknya seseorang belajar selalu mengacu pada faktor kognitif (IQ-intelligence quotient). Implikasinya, sekolah hanya mementingkan hard knowledge dan mengabaikan soft knowledge. Buktinya, masih digunakannya nilai berupa angka kelulusan UN, NEM, IPK, dan sejenisnya. Dari situlah, berkembang situasi pembelajaran yang lebih menekankan aspek kognitif saja, tak terkecuali pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Betul, apa yang diungkapkan Anton Moeliono (2004) bahwa guru dalam mengajar pelajaran bahasa, baik Bahasa Indonesia maupun bahasa asing, lebih mengutamakan hal formal seperti struktur dan tatanan bahasa. Ditambahkan, “Pengajaran bahasa apa pun seharusnya mengandung tiga hal pokok. Pertama, aspek kognitif. Kedua, aspek psikomotoris. Ketiga, aspek afektif.” Dalam buku Bu Slim & Pak Bil: Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi (2005), Hernowo mengungkapkan ketiganya secara lebih jelas.
Hernowo menulisnya, “Pertama, aspek kognitif misalnya dalam pelajaran bahasa adalah menangkap yang dimaksudkan oleh kalimat atau paragraf. Kedua, psikomotis, yakni menerapkan materi yang dipelajari. Secara lisan, peserta didik mampu bercerita dan secara tulisan terampil dalam mengarang serta membedakan berbagai jenis karangan.” Selanjutnya, “Ketiga, aspek afektif, yaitu kemampuan guru menimbulkan rasa tertarik dan kebanggaan pada mata pelajaran bahasa.” Itu bisa terlihat dari keterampilan anak dan aplikasinya.
Jika ingin mengacu rumusan ideal Anton Moeliono tersebut, kiranya kita sarankan agar para guru mau melibatkan unsur emosi (EQ-emotional intelligence) ketika mengajar di kelas. Dengan begitu, proses belajar-mengajar akan diminati dan kelak bisa mencapai keberhasilan. Secara tidak langsung, guru diajak untuk mengembangkan potensi otak kanan siswa yang selama ini terabaikan, karena fokus proses pembelajaran di sekolah lebih mengutamakan pengembangan potensi otak kiri saja.
Metode Pembelajaran. Di antara ragam metode pembelajaran yang kita ketahui saat ini, salah satunya ialah metode berorientasi kontekstual. Tokoh yang mempopulerkan metode tersebut, khususnya di Indonesia, ialah Dr Arief Rachman, seorang pakar pendidikan. Dalam metode pendidikan kontekstual, siswa diajarkan untuk kreatif, terutama menemukan jawaban yang berbeda dengan jawaban guru. Situasi begitu, mengingatkan saya, terutama pada kisah guru bahasa Inggris yang tertuang di bagian awal tulisan ini.
Bahwa, metode pembelajaran yang berkembang pada umumnya di sekolah ialah metode fungsional. Adapun kriteria dari metode tersebut, yaitu (1) memiliki standar obyektivitas yang kaku, (2) pendekatan yang digunakan oleh guru lebih berdasar tingkah laku, dan (3) mengacu pada pengembangan kognitif. Akibatnya, siswa akan lebih suka menghafal materi ketimbang memahami esensi dari ilmu yang disampaikan oleh guru di kelas. Konkretnya, siswa tidak mau mencari hal-hal baru karena ia lebih suka “menerima”, bukan “mencari”.
Situasi demikian, kian menyuburkan apa yang disebut Dr Arief Rachman, yakni “pembodohan peserta didik.” Mengapa? Sebab, guru (juga dosen) selalu memotong pertanyaan peserta didik yang kelewat kritis. Padahal, pertanyaan tipe itu merupakan salah satu ciri orang yang kreatif. Akan tetapi, lazimnya guru (juga dosen) karena memiliki keterbatasan ilmu, ia cenderung bersikap defensif, bahkan arogan. Sehingga manakala ada peserta didik yang mengajukan pertanyaan, guru tiba-tiba menganggap itu sebagai upaya penjatuhan wibawanya.
Ini berbeda dengan metode lainnya, metode kontekstual. Ciri khas metode tersebut, yaitu (1) memiliki unsur keterbukaan untuk menerima berbagai hasil dari proses pencarian peserta didik, (2) pendekatan yang digunakan lebih mengarah ke kompetensi individu, dan (3) mengacu pada pengembangan sosial-emosi-kognitif secara integratif. Jika metode ini diimplementasikan, kelak tercipta atmosfir yang memungkinkan kreativitas pada diri siswa. Di samping itu, hubungan antara guru dan siswa lebih akrab dan menyenangkan.
Paradigma Baru Pembelajaran. Harus kita akui, implikasi dari penerapan metode pembelajaran fungsional di sekolah selama ini ternyata tidak membuat siswa menjadi mandiri dan kreatif. Itu disebabkan banyak hal, salah satunya ialah, terlalu menekankan aspek kognitif atau intelektual (IQ). Padahal, menurut Daniel Goleman, seorang doktor psikologi jebolan Harvard University, AS, “IQ hanya menyumbang 20% dalam keberhasilan hidup seseorang, sedangkan EQ atau kecerdasan emosional menyumbang sekitar 80%.”
Oleh karenanya, amatlah penting jika kita mengembangkan faktor EQ dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Itu diambil agar para lulusan sekolah memiliki kemandirian, percaya diri, dan mampu berkomunikasi secara efektif di lingkungannya. Mengutip Patricia Patton, “IQ is an unchangeable genetic factor which we are born with. EQ is not. We can improve it with commitment, practice, knowledge, and will.” (Suyanto, 2004: 7). Pendek kata, IQ tidak bisa ditingkatkan, sedangkan EQ bisa ditingkatkan secara simultan.
Setali tiga uang dengan rencana pengembangan EQ dalam proses belajar-mengajar, kiranya kita amat perlu mengerti tentang sifat-sifat manusia. Menurut Patton ada lima sifat: (1) self-awareness ‘kesadaran diri’, (2) mood management ‘manajemen suasana hati’, (3) self-motivation ‘motivasi diri’, (4) impulse control ‘pengendalian insting’, dan (5) people skills ‘keterampilan’. Jika kelima sifat itu bisa dikembangkan, kelak pembelajaran akan menyenangkan; dan setiap siswa akan mampu menjadi orang yang mandiri dan kreatif.
Tiga Komponen Pembelajaran. Guna mengimplementasikan pembelajaran yang berdasar pengembangan EQ, kita perlu memperhatikan tiga komponennya. Di antaranya, guru, siswa, dan kurikulum. Dari segi guru, misalnya, paling tidak harus memiliki visi dan misi yang jelas terhadap masa depan para siswa. Ia harus well informed dalam bidang yang diajarkannya. Tegasnya, guru harus memiliki kemampuan untuk memprediksi mengenai apa yang kelak muncul dan apa yang tenggelam dari aplikasi bidang studi yang akan diajarkannya.
Sekurangnya guru bisa membawakan materi pelajaran bidang studinya secara menyenangkan kepada para siswa di kelas. Misalnya, melalui film, cerita, kegiatan lapangan, dan berkesenian. Dengan media tersebut, kita harapkan para siswa termotivasi untuk mau belajar dan belajar. Di level TK, misalnya, guru mau tidak mau harus pintar bercerita karena siswa TK lebih mudah memahaminya. Apalagi jika cerita yang dibawakan berisikan nilai-nilai budi pekerti dan juga soal perkembangan teknologi terkini.
Akan tetapi, penyajian pelajaran melalui cerita, khususnya di level TK ternyata tak mudah. Guru harus dituntut kreatif, dan pandai memainkan ekspresi dan dramatisasi suasana sehingga perhatian siswa terfokus. Dengan begitu, siswa akan merasa terlibat dalam pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, interaksi guru dan siswa akan terasa menyenangkan dan memunculkan keingintahuan siswa. Di sisi lain, guru pun menjadi aktif mencari materi ajar dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, tabloid, koran, Internet, dan sebagainya.
Sedangkan di level SD, SMP, dan SMA lebih diarahkan untuk memahami pelajaran melalui media-media belajar yang bersifat visual (gambar). Misalnya, film dokumenter. Dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya, jika guru membawa CD yang berisikan puisi-puisi dari website www.cybersastra.net, kelak siswa tak hanya memahami teori tentang puisi. Lebih dari itu, mereka akan juga paham tentang model, karakter, serta cara pengucapan dalam karya-karya penyair yang disiarkan pada umumnya di Internet.
Dengan membawa media itu, guru diharapkan bisa menghindarkan dirinya dari apa yang disebut Paulo Freire, yakni “banking concept of education.” Konsep itu lebih memosisikan guru sebagai pihak yang selalu “mendepositokan” materi kepada para siswa, padahal siswa-siswanya tidak tahu perihal kegunaan materi itu. Sejauh diamati, konsep pendidikan bergaya “bank” itu lebih cenderung membuat siswa tidak kreatif. Dalam filsafat kuno, siswa senantiasa diberikan “ikan”, tanpa pernah diberikan “kail dan alat pancing.”
Segi lainnya, segi siswa yang perlu diberdayakan dan memberdayakan diri agar proses belajar-mengajar dapat berjalan optimal. Itu terkait dengan salah satu rumus keberhasilan EQ. Yaitu, bahwa langkah pertama mengembangkan potensi EQ ialah pemahaman diri (self-understanding), dan keinginan untuk pertumbuhan diri sendiri (a desire for personal growth). Pada gilirannya, setelah langkah itu dilakukan kelak bisa diikuti tahap-tahap belajar selanjutnya. Dengan begitu, kelak nantinya akan terlahir para lulusan yang memiliki daya adaptasi tinggi.
Selanjutnya dari segi kurikulum, dinilai perlu mengalami pembenahan. Ini terlihat dari penyusunan kurikulum yang disesuaikan dengan situasi zaman dan potensi pemangku kepentingan pada satuan pendidikan. Itu sebabnya, kurikulum tidak sepantasnya seragam dan kaku. Jika saat ini guru mampu mengkreasikan kurikulum, kelak para siswanya terlatih menjadi orang yang kreatif. Untuk itulah, pemberian pengalaman kurikuler guru yang relevan dengan kehidupan riil siswa-siswanya, dipastikan dapat bermanfaat.
Strategi lainnya, yang juga memiliki kesamaan tujuan agar pengembangan sistem pembelajaran lebih baik. Yaitu, berupa penciptaan visionary instructional leadership. Dalam strategi ini pembelajaran di sekolah harus dilakukan guru yang memiliki kepemimpinan pembelajaran yang berdasar visi masa depan (visioner). Oleh karena itu, guru harus berlaku layaknya leader, dan bukan bertindak sebagai boss. Di simpul itu, guru menjadi faktor penentu bagi keberhasilan siswanya di kelas melalui penanaman nilai-nilai dan jiwa kreatif.
Kesimpulannya: pertama, perlunya re-orientasi proses belajar-mengajar di seluruh lembaga pendidikan. Awalnya orientasi itu menitikberatkan pada aspek kognitif diubah menjadi aspek kognitif-psikomotoris-afektif. Kedua, kini saatnya kita kembangkan EQ guna meraih keberhasilan dalam pendidikan. Konkretnya, kita gagas-kembali pendidikan yang berbasiskan emosi. Ketiga, proses belajar di mana pun dan kapan pun, tetap membutuhkan emosi sebagai pengayaan. Untuk itulah, sinergi EQ-IQ diperlukan guna memperkaya pendidikan. Semoga![]


Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan) Kepedulian orang terhadap pendidikan dewasa ini sudah meningkat. Sekarang kita dapat menemui ratusan artikel yang berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan melalui surat kabar, majalah, seminar dan lewat cyber atau internet. Salah satu judul atau topik yang sering diangkat orang dalam berbagai seminar dan talkshow adalah bagaimana melejitkan potensi diri dan menumbuh-kembangkan pendidikan yang berimbang antara “imtaq dan iptek”- iman dan taqwa- dan ilmu pengetahuan dan teknologi- atau topik tentang mengembangkan kepintaran berganda antara IQ, EQ dan SQ.
Konsep- konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda- mutiplied intelligent- ini kemudian dibawa ke dalam dunia pendidikan (ke sekolah) dan ke dalam rumah tangga. Namun konsep dan teori tentang kecerdasan berganda corongnya lebih banyak mengarah kepada dunia anak- anak dan para siswa di sekolah. Untuk mereka sengaja dirancang berbagai program, pelatihan atau training disertai dengan segudang resep bagaimana agar mereka bisa memiliki kepintaran berganda- menjadi generasi muda yang memiliki multiplied intelligent dengan harapan kelak bisa hidup indah, mudah dan jauh dari gelisah. Baca entri selengkapnya »

Melacak Pergaulan Siswa Yang Di Luar Batas

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
DULU Kasus kehamilan dan pelanggaran seksual yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi merupakan aib bagi orang tua dan kaum famili, sehingga yang bersangkutan diberi sangsi berat sampai diusir dari kampung. Sekarang kasus ini bila dilakukan oleh pelajar lebih banyak dikarenakan kepada nama sekolah. Ini tentu saja pukulan kepada wibawa sekolah sebagai Lembaga Pendidikan. Sebuah sekolah dianggap telah gagal atau disiplinnya kurang, bila kedapatan pelajar-pelajarnya melakukan kasus aib ini. Tak begitu dipersoalkan meskipun pelanggaran seksual itu sendiri terjadi di rumah atau tempat lain akibat kegagalan orang tua dalam mendidik anak. Pokoknya, paran sekolah, sering dituding.
Bagi sekolah, langkah yang tepat untuk membersihkan nama baiknya adalah dengan cara memecat pelajar yang berkasus atau dengan cara memindahkan pelajar tersebut, apabila ia telah hamil atau melakukan abortus Sekarang rata-rata tiap sekolah telah mendapat jatah nama buruk. Tidak pandang bulu apakah itu sekolah negeri atau swasta, bahkan merupakan pukulan yang lebih berat lagi bagi sekolah agama. Kasus kehamilan dan pelanggaran seksual tidak hanya terjadi di sekolah kota, tetapi juga di sekolah-sekolah desa. Dan umumnya, dilakukan oleh pelajar tingkat SLTA. Baca entri selengkapnya »

MAKALAH PSIKOLOGI TENTANG PSIKOLOGI PERKEMBANGAN “REMAJA DAN PACARAN”

Created : Nurna
School : STAIN Cirebon
Update : April 2008
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan perilaku J.P. Chaplin, 1979) psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari karakteristik setiap fase-fase perkembangan. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengetahui karakteristik perkembangan fase remaja, hal-hal apa saja yang mempengaruhi psikologi perkembangan pada fase remaja, serta problematika pacaran pada masa remaja, maka dengan ini penulis mengambil judul REMAJA DAN PACARAN Baca entri selengkapnya »

Karakteristik Perilaku dan Pribadi pada Masa Remaja

Abin Syamsuddin Makmun,( 2003) memerinci karakteristik perilaku dan pribadi pada masa remaja, yang terbagi ke dalam bagian dua kelompok yaitu remaja awal (11-13 s.d. 14-15 tahun) dan remaja akhir (14-16 s.d. 18-20 tahun) meliputi aspek : fisik, psikomotor, bahasa, kognitif, sosial, moralitas, keagamaan, konatif, emosi afektif dan kepribadian, sebagai berikut: Baca entri selengkapnya »

Problema Masa Remaja

Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Harold Alberty (1957) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Conger berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin dapat erupakan the best of time and the worst of time.
Kita menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja :
  • Freud menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi-mengisi.Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.
  • Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa pembentukan sikap-sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu.
  • G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang (badai dan topan). Baca entri selengkapnya »

MAKALAH PSIKOLOGI TENTANG KONSEP DASAR EMOSI

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan dan perkembangan emosi, seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia hampir mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada situasi-situasi tertentu. Pada bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah kegelisahan yang nampak sebagai ketidaksenangan dalam baru menangis dan meronta. Baca entri selengkapnya »

MAKALAH PSIKOLOGI TENTANG PENYULUHAN TENTANG SIAPA, MENGAPA DAN BAGAIMANA TERJADI KETUNAGRAHITAAN

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan. Namun seringkali kita melihat anak yang memiliki kekurangan dalam hal fungsi intelektualnya secara nyata dan bersamaan dengan itu, berdampak pula pada kekurangannya dalam hal prilaku adaptifnya, yang orang sebut Idiot. Dalam istilah pendidikan anak yang demikian dinamakan anak tunagrahita (anak yang mengalami hambatan perkembangan) merupakan salah satu bagian dari Anak berkebutuhan khusus. Anak luar biasa adalah anak yang memiliki penyimpangan sedemikian rupa / signifikanh dari anak pada umumnya dalam segi fisik, kecerdasan, sosial, emosi atau gabungan dari kelainan tersebut sehingga untuk mengembangkan potensinya secara optimal diperlukan layanan pendidikan khusus.
Dewasa ini banyak masyarakat yang belum mengerti tentang siapa anak berkebutuhan khusus itu khususnya Anak Tunagrahita, apa saja faktor penyebab terjadi ketunagrahitaan, dan bagaimana karakteristik mereka. Baca entri selengkapnya »

MAKALAH PSIKOLOGI TENTANG PERKEMBANGAN ANAK NORMAL DAN KEBIASAAN-KEBIASAANNYA

PERKEMBANGAN ANAK NORMAL DAN KEBIASAAN-KEBIASAANNYA
Setiap individu akan mengalami proses perkembangan yang tidak akan dapat ditolak, terlepas dari kehendak individu yang bersangkutan. Proses tersebut berjalan dengan kodrati dan melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan olehNya. Alloh berfirman dalam surat Al Mukminun 14 :
وقد خلقكم أطوارا !
Artinya : Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian ( Q.S. 71 : 14 )
Perkembangan individu merupakan suatu proses perubahan individu yang bersifat tetap menuju kearah yang lebih sempurna dan tidak dapat diulang kembali. Menurut Werner (1969) yang dikutip oleh Monks dkk dalam buku psikologi perkembangan menyatakan bahwa pengertian perkembangan individu menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja diulang kembali. Perkembangan individu menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diulang kembali ( Monks Dkk : 2004 : 1 )
Proses perkembangan selalu menuju proses differensiasi dan integrasi. Proses differensiasi artinya ada prinsip totalitas pada diri individu. Dari penghayatan totalitas itu lambat laun bagian-bagiannya menjadi sangat nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan. Baca entri selengkapnya »

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN TENTANG HUBUNGAN KINERJA KEPALA SEKOLAH DENGAN KEPUASAN KERJA GURU DI SEKOLAH

HUBUNGAN KINERJA KEPALA SEKOLAH DENGAN KEPUASAN KERJA GURU DI SEKOLAH
A. PENDAHULUAN
Kepala sekolah sangat berpengaruh di lingkungan kerja mereka terutama terhadap guru dan staf administrasi. Tugas utama kepala sekolah adalah mendorong para guru dan staf administrasi untuk mengembangkan kemampuan mereka untuk menciptakan iklim sekolah yang kondusif serta membantu guru tenaga administrasi murid dan orang tua murid untuk mempersatukan kehendak pikiran dengan tindakan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Baca entri selengkapnya »

Persyaratan dan Kriteria KTI Guru

A. PERSYARATAN POKOK SETIAP JENIS KARYA TULIS ILMIAH GURU (APIK)
  1. ASLI (Original), karya tulis ilmiah populer yang dihasilkan harus merupakan produk asli guru (penulis) dan sesuai dengan bidang studi/mata pelajaran/mata diklat yang diampu, dan tempat bekerja.
  2. PENTING DAN BERMANFAAT (Useful), karya tulis ilmiah populer yang dihasilkan guru harus dirasakan manfaatnya secara langsung oleh guru dalam peningkatan kualitas pembelajaran pelatihan sehari-hari. Baca entri selengkapnya »




Bagi sebagian orang, pertanyaan tersebut bisa saja masih membingungkan. Tetapi, ketika kita membahasnya dari sisi mekanisme otak dan jantung, mungkin menjadi lebih jelas persoalannya. Bahwa hati adalah getaran jantung yang berasal dari otak, khususnya dari Sistem Limbik. Sedangkan akal adalah fungsi Sistem Limbik yang seimbang antara peranan Amygdala dan Hipocampusnya.

Masalahnya, Sistem Limbik itu memang bisa bekerja tidak seimbang. Yakni, bisa dominan emosi yang dikendalikan amygdala, atau dominan rasionalitas yang dikendalikan oleh hipocampus. Kedua-duanya kurang baik. Yang baik adalah mekanisme Sistem Limbik yang bekerja seimbang.

Olah pikir di bagian cortex harus berjalan maksimum. Baik rasionya, logikanya, analisanya, kreatifitasnya, pusat-pusat penglihatan, pendengaran, bahasa, maupun berbagai mekanisme ilmu pengetahuan lainnya, karena semua itu bakal mewujud menjadi memori rasional di Hipocampus. Lantas, memori Hipocampus itu dipadukan dengan memori emosional yang ada di Amygdala, sampai memunculkan getaran yang disebut sebagai ‘emosi rasional’. Nah, emosi rasional inilah yang menggetarkan jantung sebagai perasaan yang baik.

Jika Sistem Limbik tidak bekerja seimbang, maka kemungkinannya ada dua. Yang pertama, Amygdala terlalu dominan. Maka, muncullah emosi yang ’tidak rasional’, sehingga lepas kendali dan menjadi dorongan ’hawa nafsu’. Yaitu, dorongan yang bersifat merusak. Gejolak Limbik seperti ini akan disalurkan ke jantung dalam bentuk getaran yang bergejolak juga. Getaran jantung dan otak tidak sinkron.

Dari proses ini akan muncul sifat-sifat kasar yang merusak, seperti iri, benci, dendam, serakah, sombong, marah berlebihan, dan lain sebagainya. Cobalah lihat, betapa tidak rasionalnya orang-orang yang sedang diliputi rasa iri dan dengki misalnya. Lha wong orang lain sukses, kok kita kebakaran jenggot. Sebaliknya, kalau orang lain gagal, kita malah bersuka cita. Begitu pula perasaan dendam, serakah, dan lain-lainnya. Itu adalah emosi yang tidak rasional yang tidak diridhai Allah.

QS. Al Baqarah (2): 90
Alangkah BURUK-nya mereka yang menjual diri dengan keingkaran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena DENGKI bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya...

QS. An Nisaa’ (4); 135
... Maka janganlah kamu mengikuti HAWA NAFSU karena ingin menyimpang dari kebenaran...

Kemungkinan kedua, Hipocampus yang terlalu dominan sehingga hanya menghasilkan pikiran-pikiran tanpa rasa. Alias rasio yang ’tidak emosional’. Maka, akan muncul perasaan yang ’tidak menggetarkan’. Denyut jantungnya tanpa ’rasa’. Orang-orang yang demikian ini terjebak pada akal pikiran semu yang hambar. Allah mencontohkan, seperti orang yang bersedekah, tanpa diiringi perasaan santun, sehingga menyakiti hati orang yang diberi. Rasional tapi tak berperasaan.

QS. Al Baqarah (2): 263
Perkataan yang baik dan pemberian ma`af (masih) lebih baik dibandingkan SEDEKAH yang diiringi dengan sesuatu yang MENYAKITKAN (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

Sebaliknya, jika Sistem Limbik bekerja secara seimbang, ia akan memunculkan ’emosi yang rasional’ atau ’rasio yang emosional’. Keduanya akan menghasilkan getaran yang mengimbas jantung secara terkontrol. Inilah yang oleh al Qur’an disebut sebagai Qalbun Salim. Hati yang tertata secara rasional dan emosional. Contoh yang diambil adalah Nabi Ibrahim, yaitu nabi yang sangat terkenal dengan kekuatan akalnya, sekaligus berhati lembut. Kekuatan akal pikiran Ibrahim diceritakan Al Qur’an dalam bentuk pencariannya terhadap Allah, Sang Penguasa alam semesta, QS. 6: 75-79. Namun, sekaligus, Allah juga memujinya sebagai nabi yang berhati lembut dan santun, QS. 9:114.

QS. Ash Shaaffat (37): 83-84
Dan sesungguhnya IBRAHIM benar-benar termasuk golongannya (Nuh). Ketika ia datang kepada Tuhannya dengan HATI yang berserah diri (Qalbun Salim).

Qalbun salim adalah hati yang sudah melakukan pembuktian-pembuktian secara ilmiah dalam proses  beragama, sehingga memperoleh perasaan yang menggetarkan, dalam bentuk penyerahan diri kepada Allah. Dalam istilah diatas, adalah ‘rasio yang emosional’ atau ‘emosi yang rasional’. Yakni, penggabungan fungsi Hipocampus dan Amygdala dalam kinerja Sistem Limbik yang seimbang.

Maka, AKAL adalah fungsi keseimbangan antara rasio dan emosi. Atau, antara pikiran dan perasaan. Karena ia berbentuk FUNGSI, maka Akal bukanlah ’benda’. Sehingga, di dalam al Qur’an, kata ’AKAL’ selalu ditampilkan dalam bentuk ’kata kerja’, bukan ’kata benda’. Afala ta’qilun ~ apakah kamu tidak berakal?, misalnya. Atau di kali lain Allah berfirman, ...wayaj’alurrijsa alalladzina laa ya’qiluun ~  ’’... dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.’’

Sedangkan ORANG yang BERAKAL mendapat sebutan ULUL ALBAB. Yakni, orang yang menggabungkan perasaan dengan pikirannya, secara seimbang. Berpikir dengan ilmu pengetahuan dan merasakan dengan emosi yang rasional. Maka, dia akan menemukan Allah sebagai Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dengan Qalbun Salim-nya.

QS. Ali Imran (3): 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ULUL ALBAB), (yaitu) orang-orang yang MERASAKAN hadirnya Allah (yadzkurunallah) sambil berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka BERPIKIR secara ilmiah (yatafakkaruna) tentang penciptaan langit dan bumi (lantas berkesimpulan): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Jadi, kalau ditanya ketegasannya: beragama dengan hati atau dengan akal? Maka, jawabannya pasti: dengan Akal. Fungsi Akal sudah merangkum hati, sedangkan fungsi hati belum merangkum akal. HATI masih bisa tersesat, sedangkan AKAL malah diwajibkan digunakan dalam beragama karena akan membimbing untuk bertemu Tuhan.

Sehingga, dalam berbagai ayat Allah mengatakan: ’’... tidak bisa mengambil pelajaran dari dalam al Qur’an kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya...’’ Sementara, di ayat lainnya, Allah malah banyak menceritakan orang-orang yang hatinya berpenyakit, mengeras, dan tertutup, sehingga menjadi orang yang tersesat...!

QS. Al Baqarah (2): 10
Dalam HATI mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

QS. Al Baqarah (2): 7
Allah telah mengunci-mati HATI dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

QS. Al Maa-idah (5): 13
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan HATI mereka keras membatu...

Dan masih banyak lagi ayat-ayat di dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa fungsi hati (Qalb) tidak selalu baik, karena ia hanya berfungsi sebagai alat resonansi dari Sistem Limbik yang sangat mungkin tidak bekerja seimbang antara Amygdala dan Hipocampusnya. Tetapi, jika keduanya bekerja sinkron, Sistem Limbik akan berfungsi sebagai Akal dan menghasilkan getaran Qalb yang seimbang. Dalam penelitian BrainHeart yang sudah kita bahas sebelumnya, akan menghasilkan gelombang yang sinkron antara Otak & Jantung. Dan menjadi Qalbu yang baik.

QS. Al Baqarah (2): 269
Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang mendalam tentang Al Qur'an) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang BERAKAL-lah yang dapat mengambil PELAJARAN (dari firman Allah).

QS. Ali Imran (3): 7
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu...
Dan TIDAK BISA mengambil pelajaran (darinya) KECUALI orang-orang yang BERAKAL.


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

 (bersambung nggak..?, bersambung nggak..?, Kayaknya, bersambung ya..? )